Mawardi MS : Efektivitas Fungsi Legislasi di Masa Pandemi Covid-19

Foto : Mawardi MS
JATIMNEWS | SITUBONDO - Pandemi Covid-19 sudah berlangsung satu tahun lebih di Indonesia, dampaknya dirasakan oleh semua kalangan yang menyebabkan darurat kesehatan, darurat ekonomi, dan darurat penegakan hukum yang tentunya merubah pola kehidupan masyarakat. Angka persebaran dan penularan Covid-19 yang semakin hari semakin meningkat menyebabkan banyak orang harus kehilangan nyawa. Oleh karena itu Pemerintah membuat berbagai kebijakan untuk menekan angka penularan Covid-19 diantaranya kebijakan Lockdown, himbauan untuk melakukan Social Distancing, himbauan untuk melakukan Pshycal Distancing, kebijakan PSBB, PPKM Mikro, PPKM Darurat, PPKM Level 4, dan yang terakhir saat ini PPKM Level 3 yang diperpanjang sampai tanggal 6 September 2021.
Dengan adanya kebijakan diatas, Pemerintah membuat beberapa aturan tertulis seperti:
1. Kebijakan Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Penanganan Covid-19
a. Instruksi Presiden (Inpres) RI Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 yang dikeluarkan pada tanggal 04 Agustus 2020.
Inpres ini merupakan dasar diberlakukannya undang-undang dibawahnya seperti Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup), dan/atau Peraturan Walikota (Perwali). Dalam Angka 6 huruf b 1) berbunyi: “Para Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk menyusun dan menetapkan peraturan Gubernur/peraturan bupati/Walikota yang memuat ketentuan antara lain:
1). Kewajiban mematuhi protokol kesehatan individu yang meliputi:
a). Perlindungan kesehatan individu yang meliputi:
(1). menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya;
(2). membersihkan tangan secara teratur;
(3). pembatasan interaksi fisik (pshycal distancing); dan
(4). meningkatkan daya tahan tubuh dengan menetapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);
b. PP No.21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019
PSBB dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 9 Tahun 2020. Selain itu, dasar hukum pengaturan PSBB yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Oleh karena itu, pelanggar PSBB akan menerima sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan tegas mengatur agar dimana:
“setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang halangi penyelengaraan kekarantinaan ksehehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.100 juta rupiah”.
Keppres dan PP diatas, menguatkan aturan dalam Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 untuk menindak tegas masyarakat yang nekat berkerumun (http://rakyatku.com.siapa-bilang-pelanggar-PSBB-tidak-dapat-dipidana).
Oleh karena itu, Polisi dapat menindak masyarakat yang masih nekat melakukan kerumunan yang melanggar aturan yang berlaku dengan dasar hukum yaitu :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khsusunya ketentuan pasal 212 KUHP dan juga pasal 218 KUHP.
a. Ketentuan hukum pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam pasal tersebut meneyebutkan : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah , atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat pemberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal ini adalah dikhususkan bagi orang yang telah menghalangi pejabat dalam menjalan tugas kewajibannya.
b. Pasal 218 KUHP sebagai acuan hukum dalam menegakkan kedisiplinan agar pengetatatan kegiatan masyarakat selama covid 19 dapat diterapkan. Bunyi Pasal 218” Barangsiapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas ama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”.Pasal 218 sebagai dasar hukum agar rakyat tidak berkerumun dan tidak berkumpul.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular khususnya pasal merupakan pintu masuk penegakan hukum dan kedisiplinan hukum agar mentaati aturan hukum selama kondisi penyakit menular . Yakni Barangsiapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggitingginya Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya pasal 93 secara tegas mengatur agar dimana: “setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang halangi penyelengaraan kekarantinaan ksehehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.100 juta rupiah”.
4. Beberapa aturan yang dibuat kepala daerah seperti Gubenur, bupati dan atau wali kota di masing-masing daerah.
2. Sanksi Pelanggar Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Penanganan Covid-19. Sanksi ada 2 yaitu:
1). Sanksi Administratif
Sanksi terhadap yang melanggar ketentuan di atas (Instruksi Presiden (Inpres) RI Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 Angka 6 huruf b 1) yaitu berupa sanksi administratif yang bersifat alternatif terdiri atas teguran lisan atau teguran tertulis, kerja sosial, denda administratif, atau penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha. Sanksi administratif ini dilakukan agar mayarakat mendapat efek jera sehingga mematuhi prokes yang ada.
2). Sanksi Pidana
Peraturan Daerah (Perda) baik itu Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota dapat memberikan sanksi pidana bagi pelanggar protokol kesehatan di masa pandemi untuk memutus rantai covid-19. Penegakan hukum sanksi pidana seperti tindak pidana ringan (tipirng) harus melalui proses sidang peradilan pidana sebagaimana bunyi dalam Pasal 205 KUHAP “yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah.
Mengenai sanksi, lebih baik mendahulukan sanksi administratif dari pada sanksi pidana karena banyak dari masyarakat yang kurang memahami dan menyadari adanya Covid-19 yang di dasari oleh ketidak percayaan karena kurangnya edukasi dari pemerintah setempat. Adanya sanksi diharapkan memberikan efek jera, akan tetapi sanksi harus diberlakukan secara merata tanpa pandang bulu. Selain itu, antara Pemerintah dan Aparat Keamanan haruslah mengedepankan tindakan preventif dengan memberikan kesadaran hukum berupa pendekatan, sosialisasi, pembinaan, dll kepada masyarakat agar pelanggaran protokol kesehatan tidak selalu dilakukan dengan penindakan. Karena mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Contoh kasus:
Para pelaku UMKM dalam situasi pandemi Covid-19 yang melanggar prokes selama pelaksanaan PPKM di Jawa Barat di kutip dari amar putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya No.18/Pid.C/2021/PN.Tsm terhadap inisial ALS yang membuka kedai kopi pada saat pemberlakuan PPKM, antara lain menyatakan Terdakwa ALS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pelanggaran yang berpotensi menyebabkan kerumunan di tempat usaha tanpa memperhatikan level kewaspadaan daerah. Terdakwa dijatuhkan pidana denda Rp 5 juta, jika tidak dibayar dipidana denda kurungan selama 3 hari. Mendengar putusan tersebut, ALS pun memilih menjalankan pidana kurungan selama 3 hari lantaran tidak mempunyai uang untuk membayar denda ke negara. (Sumber: Hukum Online, 10 Agustus 2021).
Dari kasus di atas, pemberlakuan PPKM yang berdampak sangat serius terhadap perekonomian masyarakat khususnya para pelaku UMKM yang melanggar prokes, dilakukan dengan cara terpaksa (overmacht) yang disebabkan oleh keadaan darurat (noodtoestand) untuk keluar dari himpitan Covid-19 karena tidak mempunyai cara lain untuk bertahan hidup. Pandemi Covid-19 telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai bencana Nasional Non-Alam melalui Keppres No.12 Tahun 2020.
Maka seharusnya dengan pemberlakuan PPKM pemerintah memberikan solusi agar rakyat tidak sengsara dan kelaparan. Sehingga kesehatan dan perekonomian dapat berjalan seirama tanpa ada ketimpangan. Padahal sudah jelas di dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM menyatakan setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Jadi legislasi di masa pandemi Covid-19 ini kurang menerapkan asas-asas kemanusiaan bagi masayarakat golongan menengah ke bawah baik dari segi penegakan hukum maupun aturan yang berlaku selama pandemi Covid-19. Sehingga sangat tidak efektif melihat banyak usaha yang harus gulung tikar, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya, pengangguran dimana-mana, yang mengakibatkan kondisi ekonomi di Indonesia semakin terpuruk.
Editor :mawardi@2021