KDRT dalam Kajian Mubadalah dan Yurisprudensi Feminis

Foto : Mawardi (Mahasiswa Doktor Hukum Keluarga Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang & Advokat YLI Surabaya Jawa Timur)
Oleh : Mawardi (Mahasiswa Program Doktor (S3) Hukum Keluarga Islam, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jawa Timur & Advokat Yuristen Legal Indonesia Surabaya Jawa Timur)
Viralnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di Kabupaten Sumenep yang mengakibatkan korbannya hingga wafat yang menimpa perempuan asal Desa Lenteng Timur Kecamatan Lenteng, sementara pelakunya meruapakan warga Desa Jenangger, Kecamatan Batang-Batang. Dalam kajian ini tidak akan membahas terkait Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan juga tidak akan membahas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana semisal Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan ataupun Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana beserta konsekuensi hukuman nya. Namun pada kasus KDRT yang mengakibatkan kematian korban ini penulis sangat mengecam terhadap pelaku dan berharap agar penegak hukum memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi korban dan keluarganya.
Penulis akan membahas tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Kajian Mubadalah dan Feminisme/Yurisprudensi Feminis. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dipahami sebagai masalah yang berakar dari ketidaksetaraan gender, dominasi patriarki, dan pengabaian terhadap hak-hak perempuan, apalagi yang dapat mengakibatkan kematian bagi korban, karena kematian akibat KDRT tidak hanya merusak individu dan keluarga akan tetapi menjadi perhatian masyarakat umum sebagai mahluk sosial.
PERSPEKTIF MUBADALAH TERHADAP KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Mubadalah merupakan pendekatan tafsir Islam progresif, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga harus didasarkan pada prinsip timbal balik (mubadalah). Artinya, kedua belah pihak (suami dan istri) harus saling menghormati, melindungi, dan mencintai satu sama lain. KDRT bertentangan dengan prinsip ini karena merupakan bentuk ketidakadilan dan pelanggaran terhadap hak salah satu pihak.
Perspektif Mubadalah terhadap KDRT yang menyebabkan kematian merupakan pelanggaran terhadap prinsip timbal balik dan keadilan dalam Islam. Mubadalah mengajarkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan harus didasarkan pada kasih sayang, perlindungan, dan saling menghormati. Kematian akibat KDRT adalah puncak dari ketidakadilan dan ketidakseimbangan relasi, di mana hak hidup dan keselamatan perempuan tidak dihargai.
Mubadalah menekankan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk menciptakan keluarga yang damai, penuh kasih sayang, dan saling mendukung (sakinah, mawaddah, wa rahmah). Ketika KDRT menyebabkan kematian, hal ini menghancurkan nilai-nilai dasar Islam dan mencederai konsep pernikahan sebagai institusi yang melindungi dan mengangkat martabat manusia. Peristiwa tragis semacam itu menunjukkan adanya ketimpangan kekuasaan yang sangat besar, yang tidak sejalan dengan ajaran Islam tentang keadilan.
Mubadalah mengajarkan bahwa Islam mengutamakan keadilan dan perlindungan bagi semua manusia, termasuk perempuan. Kematian akibat KDRT merupakan bukti perlunya penafsiran yang lebih progresif, yang menegaskan hak perempuan untuk hidup aman dari segala bentuk kekerasan.
PERSPEKTIF FEMINISME/YURISPRUDENSI FEMINIS TERHADAP KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Feminisme merupakan teori hukum yang memiliki pandangan untuk memahami dan mengatasi subordinasi perempuan dalam sistem hukum, Teori ini juga dikenal sebagai yurisprudensi feminis. Dalam perspektif Feminis, kematian akibat KDRT adalah konsekuensi ekstrem dari sistem patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Feminisme melihat bahwa KDRT, khususnya yang berujung pada kematian, adalah bentuk paling brutal dari kontrol laki-laki atas tubuh dan kehidupan perempuan. Kematian ini adalah bukti nyata bagaimana patriarki dan ketidaksetaraan gender bisa mengakibatkan kekerasan yang mematikan.
Feminisme menekankan bahwa KDRT yang menyebabkan kematian merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, terutama hak atas kehidupan dan keamanan. Setiap individu, terutama perempuan, berhak atas hidup tanpa ancaman kekerasan. Kematian akibat KDRT mencerminkan kegagalan sistem sosial, hukum, dan budaya dalam melindungi perempuan dari kekerasan.
Feminisme menuntut perubahan struktural yang menyeluruh untuk mencegah KDRT yang berujung pada kematian. Ini mencakup kebijakan hukum yang lebih tegas, pendidikan yang menentang norma-norma patriarkal, dan pemberdayaan perempuan agar memiliki kontrol atas hidup mereka sendiri. Feminisme juga menuntut adanya dukungan terhadap korban KDRT agar mereka tidak merasa terjebak dalam situasi yang berbahaya.
Sehingga baik Mubadalah ataupun Feminisme memandang KDRT yang menyebabkan kematian sebagai bentuk kekerasan yang sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia. Keduanya menyerukan penghentian kekerasan terhadap perempuan melalui perubahan budaya, hukum, dan sistem sosial yang lebih melindungi hak-hak perempuan. Mubadalah menawarkan perspektif Islam yang adil dan setara, sementara feminisme berfokus pada penghancuran struktur patriarki dan pemberdayaan perempuan sebagai solusi untuk mencegah tragedi serupa.
Editor :mawardi@2021
Source : Tim Media Sigap News Sumenep