Mawardi Ms : Kebebasan & Perlindungan terhadap Pers Perspektif UU No. 40/1999

Foto : Mawardi MS ( Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur)
JATIM LITERASI | SURABAYA - Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi, ”setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.”
Di Indonesia, kebebasan pers layak dianggap eksis jika memenuhi beberapa indikator yaitu sebagai berikut, anatara lain :
Pertama, kebebasan pers dilihat minimnya intervensi negara, dalam arti negara tidak lagi mengontrol dengan ketat lisensi, isi dan distribusi pers. Secara teoretis, pers yang selalu dikontrol negara melalui berbagai instrumen-represifnya, tidak pernah bisa mewujudkan kebebasan menjalankan aktivitas jurnalisme secara benar, apalagi menjadi kekuatan pengawasan bagi kebijakan negara.
Kedua, mitologi kebebasan pers diukur dari ada atau tidaknya pembredelan institusi media. Pembredelan telah menjadi problem besar pers di negara kita sejak tahun 1744 ketika Bataviasche Nouvelles dibredel Pemerintah Kolonial Belanda. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Pers No. 40 tahun 1999 yang menyatakan bahwa “terhadap pers nasional agar tidak dilakukan pembredelan, sensor, dan pelarangan untuk mempublikasikan dan menyiarkan”, maka hingga saat ini tidak terjadi lagi pembredelan pers di tanah air, meski dalam praktiknya belum bebar-benar hilang dengan banyaknya aturan pemerintah lain yang membayangi gerak kritis pemberitaan media.
Ketiga, kebebasan pers dilihat dari kuantitas atau jumlah peredaran pers lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Sejak tahun 1998 terjadi signifikansi peningkatan jumlah media massa.
Keempat, kebebasan pers diukur dari kebebasan media untuk menulis berita apa saja yang muncul dari semua pihak, termasuk bebas dari kontrol internal media yang menghambat kebebasan ekspresi wartawan.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982.
UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
Pasal 2 : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3 ayat (1): Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Pasal 6 : Pers nasional melaksanakan peranannya untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Sementara Undang-undang tentang kemerdekaan pers dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers diatur dalam:
Pasal 4 ayat (1) : Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
Pasal 4 ayat (2) : Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran
Pasal 4 ayat (3) : Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Undang-Undang tentang Pers memberi sanksi kepada mereka yang menghalang-halangi kerja Jurnalis atau Wartawan. Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta."
Sehingga dengan demikian kebebasan pers di Indonesia ini yang merupakan negara demokrasi sangat dijungjung tinggi dan dilindungi dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, selain itu Pers juga merupakan pilar ke empat dalam negara demokasi agar ada penyampaian informasi dan trasparansi pemberitaan terhadap masyarakat secara menyeluruh, mengingat esensi dari negara demokrasi yang seluruhnya berpusat untuk kepentingan publik atau masyarakat secara luas dan menyeluruh.
Kebebasan pers juga diperlukan agar masyarakat dapat memperoleh apa yang disebut Dr. Robert A Dahl dikatakan sebagai “the availability of alternative and independence sources of information”. Di Indonesia kebebasan pers dijamin sepenuhnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 yang kemudian diamandemen.
Jakob Oetama (2001) menambahkan, pers juga memiliki peranan dalam mencerdaskan bangsa dan masyarakat. Kebebasan pers pada gilirannya akan menumbuhkan “enlightened understanding” dari persoalan-persoalan publik hingga persoalan politik. Melalui pers, masyarakat dapat berpartisipasi secara efektif mempengaruhi agenda publik.
Selain itu, lewat upaya pencerdasan, kesadaran masyarakat terhadap hukum semakin tinggi dan tidak akan mudah menempuh jalan main hakim sendiri, termasuk terhadap pers.
Bahkan dalam Undang-Undang tentang Pers memberi sanksi kepada mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta."
MAWARDI MS (Jurnalis & Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sunan Giri Surabaya)
Editor :mawardi@2021