Penanaman Keaswajaan Dalam Dunia Pendidikan

Foto : Moh. Mahfud, M.Pd.I. (Dosen STAIFA Pamekasan)
Di zaman yang modern ini, semakin terlihat bahwa banyak berkembang paham-paham dalam Islam di berbagai wilayah, semakin banyak juga perpecahan yang berada di dalam bumi ini, dan banyak pula memunculkan respon dari berbagai kelompok lain, di antaranya adalah radikalisme. Penyebabnya tidak lain dikarenakan masih banyak orang yang kurang akan bekal ilmu keagamaan, banyaknya perbedaan dari pola fikir dan sikap keberagamaan dari kelompok islam radikal itu sendiri yang jauh dari kata toleran yang seharusnya diaplikasikan oleh muslim Indonesia saat ini. Oleh karena itu, harus ada upaya penangkalan paham radikalisme di jaman sekarang ini.
Pendidikan Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) mempunyai peran penting dalam mengokohkan jati diri sebagai seorang muslim yang mencintai kedamaian dan kebaikan. Aswaja memiliki nilai yang bertolak belakang dengan paham radikal, nilai tersebut mencakup tawasut, tawazun dan tasamuh untuk menjadikan tujuan untuk membentuk pribadi penerus yang berkarakter inklusif, jauh dari paham radikalisme, dan yang paling penting menjunjung tinggi nilai toleransi dalam sebuah perbedaan, baik dalam berfikir, berpendapat, maupun beragama.
Islam radikal yang terkenal akan kelompok yang tidak bisa menerima pemahaman dari kelompok lain serta nilai-nilai tradisi kaum muslim Indonesia, memunculkan banyaknya perilaku melenceng yang tidak sesuai dengan apa yang sudah ditorehkan ataupun yang dilakukan pada zaman Nabi, bahkan tak jarang juga memberikan label bid’ah seperti yang telah banyak kita dengar dalam dawarsa ini.
Radikal sendiri (menurut mereka) memiliki peran penting akan adanya permunian kembali ajaran Islam walaupun dengan cara menyerang tradisi dan ritual keagamaan yang sudah ada di kalangan masyarakat muslim sebagaimana yang diajarkan pada jaman Nabi yang hampir kesemuanya berpegang teguh kepada ajaran Al Qur’an, As Sunnah, dan dawuh para ulama’. Yang mana tak jarang kita menemukan sekelompok orang meremehkan kelompok yang tidak sejalur ataupun sejalan dengan kelompoknya, bahkan tidak segan-segan menjuluki kelompok lain itu dengan bid’ah, musyrik, takhayul, khurafat, dan semacamnya. Kelompok radikal ini juga sampai berani merealisasikan penolakannya ini dengan penghancuran makam-makam dan situs keagamaan yang notabenenya sebagai salah satu wahana ziarah ataupun budaya yang mereka anggap sebagai khurafat.
Sekarang saatnya kita untuk membuka mata dengan cara mengambil sisi baik dan menjauhkan generasi penerus kita dari ancaman radikal ini, melalui pembelajaran Aswaja di ranah Pendidikan baik fomal, non formal, maupun informal yang mencakup seluruh lapisan masyarakat muslim di Indonesia, baik dari kalangan remaja, dewasa, lansia, bahkan anak-anak. Sehingga penanaman aswaja ini sangat penting diberikan kepada generasi sejak dini agar bisa menjadi bekal mereka dalam menghadapi tantangan perubahan sikap beragama yang terlalu waswas ini yakni radikalisme.
Implikasi Pendidikan aswaja dalam menangkal radikalisme khususnya di ranah Pendidikan yang mempunyai suatu nilai yang memadukan atau mencampurkan antara konsep beragama dan konsep bernegara. Dimana dalam perkembangannya, paham ini mampu menyatu, bahkan menampilkan wajah baru. Aswaja hadir di tengah Pendidikan dengan wajah baru di era milenial tidak untuk membatasi antara islam dan non islam.
Aswaja di Indonesia sebagai pemersatu kalangan umat beragama.
Pencapaian dalam era milenial harus dipahami bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang murni terhindar dari perpaduan nilai-nilai Islam radikal maupun agama lain. Prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” telah mengillhami para penguasa Nusantara sejak pemerintahaan kerajaan Hindu-Budha sampai saat sekarang ini. Aswaja mampu menjadi solusi dari penerapan tradisi-tradisi yang awalnya terkesan bertentangan dengan Islam, kini yang ada tradisi sudah dengan bungkus Islami. Proses Internalisasi nilai-nilai Aswaja dalam menangkal radikalismenya ada dua posko yaitu pembelajaran dan pengalaman.
Di dalam Aswaja terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam menangkal radikalisme, yaitu nilai yang mampu menjadi jati diri dari sebuah identitas. Aswaja menunjukkan betapa tolerirnya paham ini sehingga mampu menjadikan pengikutnya memahami islam secara komprehensif. Nilai-nilai yang dimaksud ialah sebagai berikut:
Tawasuth yaitu sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan dalam pengertiannya mencerminkan sikap yang legowo dalam artian ikhlas dalam menerima keberagaman yang luwes dan terbuka. Makna dari keterbukaan dalam hal mengambil kebaikan dari pandangan kelompok lain dan tidak adanya kebencian serta menerima perbedaan agar mencapai maksud, tidak condong kepada golongan yang liberal maupun golongan yang radikal.
I’tidal yaitu tegak lurus maksudnya adalah mampu berlaku adil dalam setiap tindak langkahnya, tanpa memberikan prioritas pada pihak atau golongan tertentu.
Tasamuh ialah suatu sikap yang bisa menerima segala perbedaan dan menanggapinya dalam jalan toleransi serta mampu mengakui dan menerima keberagaman. Dalam artian tidak adanya unsur paksaan atas keyakinan diri kita terhadap orang lain, yang telah diajarkan Nabi Muhammad dalam pandangan Rahmat lil Alamin dalam setiap toleransi ialah semata mata yang memiliki perbedaan adalah suatu sunnah Allah ataupun disebut hukum alam yang pasti ada. Supaya kita jauh dari kata Radikal yang memakai jalan kekerasan.
At-Tawazun yang mempunyai makna seimbang, semua yang ada tidak berat sebagian ataupun ringan sebagian, semua mempunyai porsinya yang sama. Tidak berlebihan dalam bersikap, baik secara bernegara maupun dalam tatanan agama. Dan juga mengajarkan sikap tidak memilih-milih teman yaitu dalam bergaul. Yang dimaksud dalam bergaul ialah kita sebagai ciptaan Allah dibekali atas akal sehat dan nafsu yang harus diseimbangkan antara hubungan kita kepada Allah dan hubungan antar sesama manusia sehingga tercipta kerukunan.
Amar ma’ruf nahi munkar yang biasa kita temukan dalam memecahkan kesukaran yang terdapat di dalam diri, yaitu mengajak pada kebaikan dan mencegah dari semua kemungkaran.
Hubbul wathon yang dijuluki juga sebagai rasa cinta tanah air. Ini juga sebagian dari pengajaran rahmatal lil alamin. Dalam bernegara jika kita mempraktikkan hubbul wathon akan adanya kedamaian akan mengamalkan semua ajaran yang diyakini masing-masing tanpa adanya perpecahan, tanpa adanya kekerasan, dan intimidasi dari berbagai kelompok.
Proses akan terbentuknya generasi mendatang yang jauh dari paham radikalisme harus dengan proses internalisasi dalam mencegahnya. Proses pembelajaran yang mempunyai peranan aspek seperti peranan guru dalam memaparkan segala bentuk ilmu, sumber pelajaran, maupun media pembelajaran. Tujuannya agar memperkuat karakter generasi mendatang. Dan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam proses internalisasi nilai-nilai aswaja dalam menangkal radikalisme yan sedang marak saat ini.
Oleh: Moh. Mahfud, M.Pd.I. (Dosen STAIFA Pamekasan)
Moh. Faizar Rofiqi (Mahasiswa STAIFA Pamekasan)
Editor :mawardi@2021