Manusia Dalam Falsafah Kehidupan

Mohammad Zakki (Dosen STAIFA Pamekasan)
Figur manusia memiliki keunikan yang khas yang tidak dimiliki makhluk lain. Keunikan ini menandai jati diri manusia sebagi individu yang sangat berpotensi melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.Perubahan yang berguna untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan dan generasi bangsa yang lebih luas. Tentunya suatu perubahan yang menjurus pada peningkatan sumber daya manusia yang bermuara pada lahirnya dedikasi dan loyalitas yang tinggi. Hal ini sebagai manifestasi dari eksistensi manusia sebagai pengabdi dan khalifah di muka bumi pertiwi.
Eksistensi manusia tidak terwujud secara instan, tetapi melewati proses panjang dan memiliki tujuan yang jelas. Kewujudan sesuatu secara instan sangat jauh dari makna kebahagiaan dan kemanfaatan. Bahkan mayoritas instan itu hanya membekas pada saat barang atau sesuatu itu baru ada. Setelah lama kemudian, yang hadir dalam angan dan mimpi hanya berupa penyesalan yang harus diabaikan.
Proses sebagai antonim dari instan harus terintegrasi pada jiwa manusia. Karena tahapan demi tahapan merupakan jalan keberadaan kehidupan yang sebenarnya. Bahkan dalam perspektif filsafat, letak kebagiaan itu jika suatu proses dijalani dengan penuh tabah, tekun dan pantang menyerah.
Manusia sebagai makhluk yang dinamis memiliki peluang untuk mendedikasikan dirinya supaya dapat menciptakan kenyamanan dan kemaslahatan bagi kehidupan orang lain. Indikator dari kedinamisan manusia adalah kekuatan pola pikir yang merangsang jiwanya untuk memotivasi dirinya dan orang lain. Motivasi ini dapat menggerakkan dan merangsang supaya bisa melakukan tindakan riel guna mengantarkan dirinya pada suatu kehidupan yang hakiki. Kehidupan yang hakiki adalah kehidupan yang membawa jiwa pada ketenangan, kebahagiaan, keharmonisan dan kesejahteraan. Oleh demikian, dinamisasi dalam kehidupan adalah suatu keniscayaan yang bersifat mutlak.
Dinamisasi manusia dapat pula dikatakan suatu proses yang dimotori oleh jiwa yang menggerakkan seluruh anggota tubuh bagian luar supaya bisa melakukan serangkaian kegiatan. Baik kegiatan ruhaniah maupun jasmaniah. Dua unsur ini kemudian memetamorfosis menuju singgasana profesi yang diidamkan. Profesi yang substansial adalah profesi khalifah yang menjadi representatif dari agama yang diwahyukan dari Allah swt. Sedangkan hakikat kebahagiaan yaitu apabila dapat mengoptimalkan tugas kekhalifahannya.
Letak kebahagiaan seseorang dalam menjalani kehidupan yaitu terwujudnya kesamaan dan kesinambungan antara konsepsi Ilahi dengan realisasi atau antara idelisme dengan upaya yang nyata. Kebahagiaan bukanlah kekayaan yang dimonopoli dengan kemewahan dan tumpukan harta yang mencakar bawah tanah dan menjulang ke langit. Justeru pada kondisi yang lain, harta akan mengantarkan pada keburaman cara pandang dan mengkerdilkan cara berpikir yang produktif.
Manusia dianggap produktif apabila bisa memberikan manfaat pada orang lain. Manfaat itu bisa melalui menyumbangkan pemikiran, memberikan fasilitas yang dibutuhkan, memberikan peluang pekerjaan dan lain sebagainya. Dengan cara seperti ini, orang lain merasa terbahagiakan akibat dari hasil produktivitas tersbut. Kondisi ini merupakan hakikat kebahagiaan karena telah berhasil mendedikasikan diri untuk orang lain, meninggalkan kepentingan pribadi demi mendahulukan kenyamanan public dan rela melaparkan dirinya untuk menolong nyawa orang yang dilanda kelaparan.
Kebahagiaan yang disebabkan telah membahagiakan orang lain lebih tinggi nilainya daripada hanya menerima sesuatu dari orang lain. Karena pemberi itu sebagai subjek yang bersifat dinamis dan produktif dalam hal dedikasi, sementara penerima menjadi objek atau sasaran yang bersifat statis. Pemberi merupakan implementatif dari kedinamisan manusia, sebagai figur yang memiliki potensi emotif tinggi. Hubungan emosional yang mengedepankan kepentingan dan kebutuhan orang lain demi teraihnya kebahagiaan yang dapat membuat hidupnya lebih bermakna.
Heppynes dalam paradigm Barat adalah dambaan semua orang di mana pun ia hidup dan tinggal, termasuk orang yang emotifnya tidak normal pun tetap mendambakan kebahagiaan. Artinya kebahagiaan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dilepaskan dari setiap jiwa manusia dan bersifat individual. Bahkan dalam jangka panjang yang bermuara pada kekekkalan dan keabadian hidup, kebahagiaan menjadi tujuan utama dari amal shalehnya selama di dunia. Kata "shaleh" dalam konteks bahasa adalah datangnya kebahagian dalam diri jiwa setelah melakukan kebaikan. "Shaleh" juga dibahasakan sebagai tindakan yang dapat menimbulkan kedamaian dalam diri sendiri dan internal masyarakat. Perbuatan baik ini adalah suatu pekerjaan dan atau tindakan dhahir dan bathin yang mengarah pada kedamaian, ketentraman dan keharmonisan.
Semua kebahagiaan yang diraih oleh jiwa manusia merupakan hasil kompetensi yang tentunya melewati berbagai tantangan dan ujian yang sulit. Namun karena ketabahan dan kekebalan jiwa, ahirnya apa yang didamba pada akhirnya akan tercapai. Kemenangan yang sejati adalah kemenangan jiwa yang telah mampu mengalahkan egoisme dan hasrat syaithaniah. Untuk mengalahkan ego dibutuhkan kerja keras dan peran stratgic dari jiwa agar mampu mengalahkan dan mengantarkan ego negatif ke positif. Salah satu stretegi yang energic melawan ego adalah melatih kebiasaan yang positif meski nilainya kecil tetapi mengandung manfaat yang besar. Kebiasaan yang berulang-ulang akan bermuara pada pembentukan karakter, yaitu karakter manusia yang bercita-cita memberikan kebahagiaan dan kemanfaatan pada orang lain.
Al-Quran sebagai landasan primer umat Islam sudah lama memberikan rambu-rambu kebahagiaan dan kesengsaraan. Sesuatu yang kecil yang bernilai baik dan buruk pasti memiliki konsekuensi tersendiri. Jika suatu kebaikan maka akan melahirkan kebahagiaan dan apabila kejelekan akan melahirkan kesengsaraan. Kabahagiaan yang dimaksudkan adalah hasil dari suatu kebenaran yang telah dilakukan. Benar itu sendiri memiliki dua sifat dan sudut pandang yang berbeda, yaitu subjektif dan objektif. Kebenaran subjektif adalah kebenaran yang lebih didasarkan pada konsep dan kepentingan diri. Kebenaran pada item ini terjadi pengaruh negatif pada lingkungan sekitar dan ketidak harmonisan pada orang lain, meski dirinya merasa bahagia.
Ego manusia cenderung subjektif, bertindak sesuai keinginan sendiri tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan konsekuensi positif dan negatif. Visi dari subjektifitas ini adalah kebahagiaan untuk diri sendiri, terpenuninya hasrat insaniah dan pelayanan yang optimal bagi diri jiwa. Berbeda dengan keinginan objektif, yaitu tindakan maupun kepentingan yang sangat memperhatikan dan mengedapankan dampak positif bagi diri sendiri dan juga orang lain. Kebahagiaan yang terlintas sebelum melakukan sesuatu adalah kebahagiaan yang berhak dimiliki orang lain dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi diri sendiri. Objektif ini sesungguhnya merupakan esensi dasar dari proses kelahiran manusia ke alam nyata.
Oleh sebab beberapa uraian tentang urgensi kebahagiaan bagi setiap jiwa manusia, maka diperlukan kesadaran internal untuk senantiasa berfikir dan merenung kembali tentang esensi manusia sebagai makhluk dinamis yang objektif, dan bukan makhluk statis yang subjektif.
Oleh: Mohammad Zakki (Dosen STAIFA Pamekasan)
MUSAHWI (Mahasiswa STAIFA Pamekasan)
Editor :mawardi@2021