Merancang Masa Depan Paripurna

Foto : Moh Farhan, S.Sy.,M.E (Dosen STAIFA PAMEKASAN)
Hidup akan terus berputar sesuai dengan rotasi takdir yang telah tuhan gariskan. Sekalipun terkadang terasa sakit dan tidak searah antara keinginan dan harapan. Bunga yang berawal dari serbuk itupun, bermetamorfosis, tumbuh, menguncup dan mekar ketika jatuh pada saatnya. Begitu pula dengan perjuangan dan misteri itu terungkap saat masa dan waktunya tiba. Masa dimana semua dintara masing-masing jiwa akan menghadapi fase yang sama, untuk memasuki gerbang kehidupan yang baru, meninggalkan ruang tunggu dan mengakhiri masa penantian yang lama. Sebuah bahtera yang disebut rumah tangga. Dan Saat taqdir purba berbicara, masing-masing diri senantiasa berharap mampu menjadi keluarga yang telah tuhan sematkan dalam kalamNya, keluaga sakinah mawaddah wa rahmah.
Namun, perkembangan wawasan dan pradigma masyarakat di era modern ini tidak sebanding dengan semakin meningkatnya kasus keretakan rumah tangga dan merebaknya perceraian. Hal ini dapat kita lihat secara langsung di berbagai media massa bahwa kemusykilan tersebut telah tercatat mencapai angka yang mengkhawatirkan. Mayoritas terjadinya fenomena ini diakibatkan tidak terbangunnya cinta atas landasan takwa karena Allah. Begitulah kemudian, penulis memandang terhadap problem ini tidak menutup kemungkinan terjadi karena konsep dasar telah berpedoman pada selain manhaj rabbani yang telah dituntunkan sehingga menjadi polemik yang sulit diselesaikan. Menurut sebagian orang yang berpengalaman, membangun rumah tangga tidak jauh berbeda dengan membangun sebuah bangunan rumah yang akan kita jadikan sebagai tempat tinggal. Dalam artian, rumah yang kokoh, berdiri tegak, dan terlihat megah bukan karena terbuat dari marmer dan berproduk asli Jepang, melainkan karena pondasi dari rumah itu sendiri yang kokoh, kuat dan tidak mudah rapuh. Sehingga, rumah itupun terlihat bagaikan istana sekalipun kecil dan bagaikan singgasana sekalipun sederhana. Begitu pula dengan biduk rumah tangga, berpacu pada konsep dasar yang jelas dan mumpuni adalah sebuah niscaya harapan menjadi keluarga harmonis akan tercapai.
Diakui atau tidak, saat yang paling dinanti oleh sepasang insan yang saling mencintai dan menyayangi adalah saat akan mengikrarkan satu ikatan halal dalam merealisasikan sunnatu al rasul dengan tujuan sebagaimana yang telah dipetakan dalam islam. Namun, perlu kita fahami bahwa pernikahan bukanlah peristiwa sehari yang kemudian begitu selesai juga berlalu. Akan tetapi, pernikahan merupakan peristiwa sakral yang telah menjadi lambang dari pejanjian setia (Mitsaqan Ghalidza) untuk memasuki gerbang baru dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Sehingga tidak cukup hanya dengan mengatasnamakan cinta yang seringkali bersifat manipulatif. Karena itulah, merupakan hal fundamental dalam mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut, termasuk diantaranya adalah dimulai dari bagaimana kita memilih. Karena walau bagaimanapun, kesuksesan mengayuh hidup rumah tangga ditentukan dari awal kita memilih dan menentukan.
Memilih merupakan satu diantara usaha untuk mendapatkan yang terbaik dengan menafikan niat hanya sekedar pilah-pilih. Sekalipun, memilih terkadang dapat membingungkan dan menjadi sesuatu yang akut bahkan dapat menjadi problem besar ketika sesuatu yang kita pilih justru berbanding terbalik dengan apa yang kita kira. Betapapun dahsyatnya, hak menentukan pilihan ada ditangan kita masing-masing. Termasuk pula mengenai seseorang yang akan kita jadikan sebagai masa depan. Namun, baik buruknya pilihan sangat tergantung pada pondasi yang mendasari pilihan tersebut sekaligus tanpa mengeyampingkan irsyad tuhan. Semakin merasa bingung?. kita tidak usah risau ataupun galau dengan hal ini, cukup kita aplikasikan kalam yang telah menjadi wasiat bagi kita sebagai bekal dalam memilih laki-laki yang baik dan sesuai dengan kriteria kita, sebelum semuanya terjadi dan menjadi. Hal tersebut, terdiskripsi dalam potongan hadits yang disinyalir oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yaitu: “Fadzfar Bidzatid Din Taribat Yadak ( pilihlah wanita yang beragama, niscaya engkau akan beruntung)”.
Perspektif penulis, hadits diatas pada esensinya bersifat komprehensif. Artinya, tidak hanya di tujukan kepada kaum laki-laki yang hendak meminang. Sekalipun secara tarkibul kalimah memang berbentuk mudzakkar dan terdapat makna filosofis yang tidak mungkin penulis jelaskan dalam tulisan sederhana ini. Orientasi hadits ini kalau kita tilik ulang merupakan sebuah ruang bebas bagi kita, kaum perempuan untuk memilih dan menerima ataupun menolak terhadap pinangan seorang laki-laki. Dengan demikian, maka antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk memilih sesuai dengan keinginan dan harapan masing-masing diri. Akan tetapi, kembali pada hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah bahwa dari empat hal yang menjadi basic utama dalam memilih adalah yang paling sempurna agamanya, bukan ketampanan, keturunan ataupun kekayaan. Ketiga hal lainnya ini hanya sebagai pendukung yang bukan berarti tidak penting melainkan mendahulukan yang lebih penting dari beberapa hal yang juga penting.
Secara tafshiliyyah yang dimaksud baik dalam bidang agama menurut syaikh fuad shalih dalam bukunya, Liman Yuriidu Al Zawaj wa Tazawwaj adalah mencakup keshalihan dan kemuliaan akhlak. Dengan begitu, ternyata tidak cukup seseorang dikatakan baik agamanya jika hanya berlandaskan pada kealiman (banyaknya ilmu) akan tetapi justru tidak disertai dengan keshalihan. Sosok yang shalih akan senantiasa selaras antara lahiriyah dengan apa yang ada dalam hati. Tutur kata indahnya yang menjadi ucapan sesuai dengan sikap yang menjadi tindakannya. Teori hidup yang dijadikan statement mampu direfleksikan dalam realitas hidupnya. Jadi, apa yang dapat kita fahami dibalik anjuran Rasullullah dalam memilih laki-laki shalih? Sekedar berbagi dari sedikit pengetahuan yang penulis ketahui, laki-laki shalih adalah sketsa dari lelaki surga yang sengaja tuhan cipta untuk perempuan shalihah. Karena laki-laki shalih akan berkomitmen terhadap petunjuk Allah sehingga akan menghalanginya berbuat dzalim dan terjerumus pada perbuatan maksiat serta segala sesuatu yang diharamkan.
Laki-laki shalih, selalu berpijak dari rasa takut kepada Allah sehingga tidak akan ada istilah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laki-laki shalih, senantiasa menjadikan Rasulullah sebagai qudwah utama dalam semua hal baik dalam berprilaku, bersikap dan bertutur kata. Simpul kata, laki-laki shalih adalah medium yang dapat mengantarkan menjadi perempuan seutuhnya. Sehingga tidak heran, jika lelaki shalih ternyata juga mampu menshalihahkan.
Selain itu pula, ketinggian akhlak juga menjadi tolok ukur kedua dalam mendasari peta kehidupan rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah. Dan ini merupakan salah satu hal yang sangat di perhatikan oleh agama. Karena adanya kekejian, penganiayaan, perselingkuhan dan sikap buruk lainnya terbukti menjadi benalu dalam rumah tangga akibat keburukan akhlak. Sehingga, banyak pernikahan yang berujung pada kesengsaraan, rasa cinta kasih tak lama berselang berubah menjadi kepedihan, dan masa depan cerah berubah menjadi suram. Naudzubillah. Berbeda halnya dengan sebagian orang yang memiliki akhlak baik dan pribadi shalih yang diantaranya semisal Abu Abdullah Ahmad bin Hambal dan Qadhi Syuraih yang sangat masyhur dan tercatat dalam rangkuman sejarah. Mereka berlayar di samudra rumah tangga kurang lebih selama 20 tahun tapi tidak pernah didapati dalam kamus hidupnya dari istilah tidak rukun. Dan tentunya, Rasulullah jauh lebih sempurna dari itu. Sehingga dapat kita fahami, Sejauh mana kita berkometmen pada pedoman Allah, sejauh itu pula kebahagiaan dunia dan akhirat akan terwujud. Rumah tangga yang hakiki akan terwujud atas dasar pilihan yang benar dan dasar-dasar yang kokoh.
Kesetiaan, kebijaksanaan, ketulusan, kelembutan dalam berinteraksi, penyabar, romantis, mendamaikan, tidak arogan, memberikan kekuatan disaat kita lemah, tidak egois, memahami dengan sepenuhnya, menerima apa adanya dan segala sikap baik yang di idamkan oleh kita, (sebagai perempuan) hanya ada pada sosok lelaki shalih dan berkahlak mulia. Karena hanya dari jiwa yang bersihlah akan terpancar perilaku baik nan agung. Akhirnya penulis memandang perlu bagi kita untuk merenungi, lelaki hebat bukanlah mereka yang hanya mampu menempuh jenjang pendidikan tinggi, memiliki prestasi luar biasa, mengumpulkan kekayaan, berlatar belakang keturunan konglomerat atau priyai melainkan mereka yang mampu meneguhkan dan menundukkan hati untuk selalu ingat pada Tuhan. Sehingga, kita bisa merasakan makna hakikat dari sebuah kata yang disebut dengan kehidupan.
Oleh: Moh Farhan, S.Sy.,M.E (Dosen STAIFA PAMEKASAN)
Moh. Riski (Mahasiswa STAIFA PAMEKASAN)
Editor :mawardi@2021