Antara Original dan Produk Budaya Dalam Tafsir

Foto : Teks Al - Qur'an
Oleh : Miftahul Jannah, M.Ag.
Moh. Farhan, M.E.
(Dosen STAIFA Pamekasan)
Agama dan kebudayan yang dibawa Nabi Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan sudah begitu terpadu sehingga tidak lagi terpisahkan. Hal ini tidk lepas dari keterkaitan Islam dengan teks (nash) teologis, yakni al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai informasi transenden dan petunjuk bagi manusia (hudan linnas). Di satu sisi, keniscayaan al-Qur’an sebagai pembentuk kebudayaan dan peradaban manusia khususnya umat Islam.
Dialektika antara manusia dengan al-Qur’an meniscayakan munculnya peradaban dan kebudayaan. Artinya al-Qur’an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk sifat dan watak keilmuan yang berkembang.
Universal al-Qur’an mengandung pengertian ayat yang kandungannya universal (kulliyyah), karena memuat aturan yang lebih universal (norma, kaidah) dibandingkan ayat ranting yang memuat aturan spesifik. Pesan al-Qur’an tersebut di dealisasikan menjadi pesan kemanusiaan. Universalitas tersebut menolak “Arabisme” sebagai sumsi yang membatasi pesan islam hanya di Jazirah Arab, atau paham “komunalisme” yang membatasi Islam pada komunitas tertentu.
Dalam teori tentang kultur (budaya, culture), dikenal ada dua pandangan tentang kultur. Pertama, kalangan universalis yang mengatakan bahwa semua kultur sama-sama memiliki beberapa ciri yang universal. Bagi kalangan universalis, meski ada perbedaan-perbedaan faktual antarkultur, namun terbatas, dan ada komunalitas. Salah satu bukti adanya universalitas adalah selalu ada pertukaran kebutuhan hidup dan pertukaran ide antarkultur. Fenomena “globalisasi” menjadi bukti mungkinnya pertukaran itu, yaitu melalui bahasa dan makna yang juga disepakati. Kedua, kalangan partikularis yang mengatakan bahwa setiap kultur memiliki perbedan-perbedaan tertentu yang tidak bisa dipertemukan, karena masing-masing memiliki keunikan dan tidak ada yang menghubungkannya, sehingga fungsi kultur tertentu hanya terbatas pada anggota-anggota kultur tertentu. Samuel Huntington dengan tesisnya tentang “benturan antarperadaban” (clash of civilization).
Indikator lain dari adanya partikularitas tersebut adalah persepsi tentang moralitas yang merupakan bagian dari kultur.
Dengan ungkapan lain, universalitas terkait dengan “tradisi tinggi” (high tradition) yang masih mengikatkan diri secara kuat dengan Islam murni yang berasal dari kitab suci, sedangkan partikularitas dan, khususnya, kearifan lokal, terkait dengan “tradisi rendah” (low tradition), di mana kultur setempat mewarnai secara kuat Islam yang semula diterima yang bercirikan “tradisional”, “mistis”, “magis”, dan sebagainya.
Al-Qur’an merupakan teks berwujud bahasa yang menjadi teks sentral bagi peradaban Arab pasca era Jahiliyah. Turunnya teks al-Qur’an secara berangsur-angsur merupakan bukti telah terjadi hubungan dialektika antara teks dan realitas. Teks al-Qur’an di Jaziran Arab sebagai respon terhadap realitas-realitas yang terjadi saat itu membantu mengatur proses terbentuknya peradaban. Terbentuknya peradaban bukan berarti semata-mata karena teks, melainkan adanya interaksi serta mendialogkan antara teks denga realitas. Sebagaimana lazimnya teks-teks sastra, teks al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari realitas yang ada di sekelilingnya. Dengan melihat usaha-usaha untuk mendialogkan antara teks dan realitas.
Dalam lintasan sejarah dunia Arab, teks memiliki kedudukan penting. Apalagi jika melihat perkembangan sastra era pra Islam sampai Islam. Tradisi lisan mengakar dengan sangat kuat. Teks inilah yang pada akhirnya diyakini memiliki pengaruh besar dalam pembentukan oerdaban, meski diakui pula peradaban itu sendiri tidak terbentuk hanya dengan teks secara personal, tapi melalui dialektika antara manusia, realitas dan teks itu sendiri. Konsep teks menjadi begitu penting.
Istilah teks dalam bahasa arab disebut “al-nass”, sedangkan dalam bahasa Arab klasik kata “nass” berarti mengangkat. Seperti dalam kalimat ??? ??? ??? ????? (kijang betina itu mengangkat lehernya). Pada tingkat peralihan makna dari materil bermakna berat, seperti pada ungkapan ???? ? ??????? (perjalanan yang berat) dan ?? ????? (perkara-perkara yang berat). Peralihan pada makna konseptual bermakna menanyai tentang sesuatu hingga terungkap dan bermakna “usia baligh”, seperti dalam kalimat ?? ????? (seseorang menanyainya tentang suatu hingga terungkap apa yang ada padanya) dan ??? ?????? ?? ?????? (perempuan itu sudah mencapai usia baligh). Sedangkan, setelah masuk pada makna terminologis, menjadi bermakna isnad dalam ilmu hadis, berarti at-taufiq dan ta’yin (penentuan).
Pergeseran dari makna materil sampai pada masuk makna terminologis tidak mengalami perubahan besar dari makna utama.
Pandangan terhadap muatan lokalitas Arab terhadap al-Qur’an beragam arah dan pendekatan. Pandangan tersebut berimplikasi serius terhadap klaim tentang otentisitas al-Qur’an. Pertama, pandangan sebagian kalangan orientalis yang concern pada asal-usul (origin) al-Qur’an yang berasumsi bahwa al-Qur’an merupakan hasil dari perpaduan berbagai tradisi pra-Islam, baik tradisi Arab, maupun tradisi keagamaan Yahudi dan Kristen. Pandangan ini, antara lain, dikemukakan oleh John Wansbrough dalam Quranic Studies. Wansbrough sendiri menerapkan pendekatan kritik sastra (literary criticism) terhadap sumber-sumber dalam pandangannya itu. Di samping itu, pandangan tentang keterpengaruhan al-Qur’an dengan tradisi pra-Islam didasarkan atas pendekatan historisisme.
Kedua, pandangan kaum Muslimin yang melihat bahwa meski merespon melalui adopsi dan adaftasi terhadap tradisi Arab, al-Qur’an tetap merupakan kitab suci yang otentik. Khal?l ‘Abd al-Kar?m dalam al-Judh?r al-T?r?khiyyah li al-Syar?’ah al-Isl?miyyah dan Muhammad Sa’?d al-‘Ashm?w? dalam Us?l al-Shar?’ah menyatakan bahwa meski sebagian dari hukum Islam yang dibawa oleh al-Qur’?n memiliki akar-akar dari tradisi masyarakat Arab tetap memiliki otentisitas. Khal?l ‘Abd al-Kar?m, misalnya, menunjukkan sejumlah aturan dalam Islam yang berasal dari tradisi Arab, namun kemudian Islam mereformasikan dengan memodifikasi atau memberi arah baru, seperti perbudakan sebagai tradisi Arab masih dibolehkan karena elastisitas dan adaftasi dengan konteks masa lalu, namun disyari’atkan untuk memerdekakan budak, karena visi ke masa depan dengan memberantasnya. Al-‘Ashm?w? juga menegaskan orisinalitas al-Qur’an, antara lain, melalui salah satu kaedah yang dibuatnya: “shari’at turun karena ada sebab-sebab yang menghendakinya, dan sebab-sebab turunnya shari’at itu tidak memiliki kesesuaian dengannya”.
Kaedah ini mengandung pengertian bahwa tidak semua ayat al-Qur’an turun karena sebab-sebab spesifik yang diistilahkan dengan sabab al-nuz?l, melainkan turun juga “menguraikan hukum mengenai apa yang ada dalam realitas” yang disebut mun?sabat al-tanz?l. Itu artinya bahwa melalui konsep terakhir ini al-Qur’an memiliki visi sendiri terhadap realitas yang ada yang menguatkannya sebagai kalam otentik Tuhan, bukan sekadar merespon langsung terhadap tradisi Arab melalui sabab al-nuz?l.
Apalagi yang dimaksudkan budaya atau kebudayaan adalah totalitas kegiatan intelektual yang dilakukan oleh individu atau masyarakat dengan semua implikasinya, maka al-Qur’an merupakan sumber kebudayaan yang sangat kaya. Al-Qur’an, seperti yang telah dibuktikan dalam lintasan sejarah umat Islam, berperan sebagai proses atau sumber utama kehidupan kaum Muslimin, al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam telah berfungsi sebagai sumber petunjuk, sumber inspirasi, dan sumber semangat.
Ketika umat Islam baik secara perorangan maupun kelompok, melakukan dialog intelektual dengan al-Qur’an, maka akan dihasilkan buah yang sangat lezat dan nikmat untuk dirasakan. Umat Islam akan merasakan dan sekaligus menikmati manfaat yang luarbiasa dari petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalamnya. Menuerut Quraish Shihab, apabila seseorang mencoba untuk mempelajari sejarah al-Qur’an, maka tujuan yang utama dari diturunkannya al-Qur’an adalah sebagai kitab petunjuk.
Editor :mawardi@2021