Trauma di Era Pandemi covid-19

Foto : Miftahatur Rizqiyah, S.Pd, M.Si (Dosen STAIFA PAMEKASAN)
Allah sang maha pencipta alam semesta beserta isinya. Kehidupan adalah salah satu bukti bagian dari keberadaan sang pencipta. Tentu adanya kehidupan bukan tanpa alasan atau pun ada begitu saja.
Penulis menyimpulkan bahwa kehidupan adalah anugrah yang terdiri dari unsur- unsur rasa seperti kesedihan, kebahagiaan dan nusur- unsur aktifitas seperti kecelakaan, makan, minum. Dua unsur tersebut berlaku bagi seluruh mahluk seperti hewan tumbuhan, manusia.
Di antara mahluk tersebut Allah memberikan tugas lebih pada manusia sebagai mana yang terkandung dalam QS Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi “ sesungguhnya Aku jadikan kalian sebagai pemimpin di muka bumi” [1].
Ayat di atas menjelaskan bahwa penciptaan kehidupan bukan tanpa alasan, penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin minimal bagi individu itu sendiri, dengan kata lain menjadi pemimpin bagi diri adalah bisa membedakan baik dan buruk serta bisa menjaga diri sendiri. Dalam diri manusia memiliki alam bawah sadar, alam bawah sadar seperti komputer yang dapat merekam segala pengalaman dan peristiwa yang pernah dialami selama hidup di dunia ini, baik peristiwa atau pengalaman yang menyenangkan (positif) maupun yang menyakitkan (negatif) [2].
Lalu bagaimana dengan situasi pandemi covid-19 saat ini?, dimana masyarakat seolah hidup dalam tekanan, kecemasa dan dirundung oleh ancaman- ancaman kematian [3]. Masyarakat berada dalam kecemasan objektif (objective anxiety) yang timbul dari ketakutan terhadap bahaya yang nyata [4]. Setiap waktu jumlah kematian meningkat, setiap individu harus berada di dalam rumah, sekolah lockdown, pasar lockdown dan tempat- tempat keramaian pun lockdown, seketika jalan yang awalnya ramai menjadi sepi, perayaan- perayaan yang mengundang keramaian di hentikan. Di belahan dunia seluruh aktivitas tatap muka di hentikan, seluruh bisnis, dan pendidikan beralih kesistem digital dan terjadinya pandemi covid-19 telah membuyarkan pola tatanan kehidupan seperti yang telah dilakukan sebelumnya [5].
Virus corona-19 atau yang sering dikenal dengan covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona-19 yang berasal dari wuhan china (Wang et el., 2020). Dalam berita liputan6 mantan Presiden Amerika Serikat (As) Donal Trump mengklaim memiliki bukti, virus corona-19 dikembangkan di sebuah laboratorium di china. Namun para ilmuan mengatakan tak ada bukti yang membenarkan klaim Donald Trump tersebut [7]. Masih dalam liputan6 asal mula wabah virus corona-19 19 berdasarkan versi pemerintah china adalah sebuah pasar hewan laut di wuhan. Up date terkini total kasus di indonesia sebanyak 772.000 jiwa, 693.000 jiwa sembuh, 22.911 jiwa meninggal dunia (covid-19, 2021). Dalam dunia bedah tingkat komplikasi lebih tinggi jika pasien menderita covid-19 saat operasi [9]. Sebagian besar orang yang tertular covid-19 akan mengalami gejala ringan hingga sedang.
Masing-masing orang memiliki respon yang berbeda terhadap covid-19. Sebagian besar orang yang terpapar virus ini akan mengalami gejala ringan hingga sedang, dan akan pulih tanpa perlu rawat inap. Adapun gejala umum yang sering terjadi adalah, demam, batuk kering, kelelahan dan gejala yang khusus adalah, rasa tidak nyaman dan nyeri, nyeri tenggorokan, diare, konjungtivitas (mata merah), sakit kepala, hilangnya indra perasa atau penciuman, ruam pada kulit atau perubahan warna pada jari tangan atau jari kaki [10]. Dampak yang ditimbulkan covid-19 memang sangat luar biasa, khususnya masalah kesehatan [11], perekonomian serta memberikan dampak secara psikis, jumlah kematian meningkat setiap waktu, dan sampai 6 januari 2020 jumlah kematian karena virus corona-19 di indonesa mencapai 22.911 jiwa, karena itu situasi seperti ini bukanlah situasi yang sedang baik, di tambah adanya peraturan protokol kesehatan covid-19, dimana setiap individu yang keluar rumah wajib memakai masker, cuci tangan dan jaga kebersihan, menggunakan hand sanitaizer, menghindari kerumunan. Suasana seperti ini tentu akan menggiring opini masyarakat tentang ganasnya virus corona-19 virus.
Hingga tak jarang situasi ini membuat orang- orang, takut, jenuh, marah, bosan, cemas, stress bahkan trauma [12]. Baru- baru ini salah satu artis pun meluapkan kekesalan dan emosinya di akun media social Instagram dengan menjual celana dalam yang sudah di pakai oleh dirinya dengan harga 50 juta. Di podcas Deddi Corbusier ia menyebutkan bahwa ia stres dengan pandemi covid-19 yang menyebabkan ia tidak punya penghasilan(Corbuzier, 2020). Di pademawu juga terdapat salah satu dokter yang tidak mau menerima pasien sementara waktu karena khawatir ditulari wabah pandemi covid-19.
Covid-19 memberikan dampak yang sangat membekas bagi setiap individu, ketakutan dan kecemasan setiap saat, berjabat tangan yang tak lagi di lakukan, serta peraturan- peraturan yang mengikat, segala insiden tersebut akan terekam di alam bawah sadar setiap individu. Alam bawah sadar seperti komputer yang dapat merekam segala pengalaman dan peristiwa yang pernah dialami selama hidup di dunia ini, baik peristiwa atau pengalaman yang menyenangkan (positif) maupun yang menyakitkan (negatif) [2].
Trauma merupakan ketakutan yang di akibatkan oleh kejadian- kejadian yang telah di alami individu [14], kejadian- kejadian tersebut akan tersimpan di alam bawah sadar seperti halnya gunung es yang mana di bawah permukaaan air itulah alam bawah sadar [15] Delapan puluh persen (80%) remaja memiliki riwayat traumatis [16].
Trauma akan berdampak pada pola pikir [17] pola pikir dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan yang selalu berubah, baik hal tersebut direncanakan atau pun disebabkan oleh sesuatu yang tidak dikehendaki atau direncanakan [18] dan tingkah laku individu, cara bersosial dan bahkan pada kesehatan [19]. Apalagi di masa pandemi covid-19 masyarakat merasa terancam dengan adanya virus covid-19.
Untuk menghadapi polemik trauma dimasa pandemi covid adalah sebagai berikut:
Keyakinan Terhadap Sang Pencipta
Keyakinan merupakan pondasi dalam kehidupan sebab keyakinan adalah penuntun hidup. Dalam kehidupan sehari- sehari manusia tidak akan pernah terlepas dari keyakinan masing- masing [20]. Dalam kehidupan ada siang dan malam, ada panas dan hujan, ada langit dan bumi, ada sehat dan sakit, ada senang dan sedih, serta ada penghuninya seperti tumbuhan, hewan, manusia, semua hidup saling beriringan sesuai fungsi masing- masing dengan keyakinan masing- masing. Segala dinamika kehidupan dalah bukti adanya sang pencipta. Di dalam roda kehidupan manusia tidak akan pernah terlepas dari dinamika rasa seperti senang, bangga, kagum, sedih, marah, kecewa dan benci. Setiap manusia pasti memiliki kisah atau kejadian- kejadian yang serupa namun berbeda, seperti halnya dalam buku “Mama Jangan Pukul Aku” karya Regina Clarinda dimana tokoh Regina selalu mengalami penyiksaan dan kekerasan secara fisik maupun psikis dari ibu kandung nya sejak ia berumur 2 tahun sampai remaja, hal ini menjadikan ia trauma [21].
Pengalaman masa kanak-kanak yang buruk akan berdampak buruk terhadap perkembangan kesehatan dan sosial di masa dewasa [22], namun dari kisah hidup yang penuh luka tersebut ia memilih bangkit dan menjadi pribadi yang kuat serta mampu mengambil pelajaran, dari kisah hidupnya ia menciptakan sebuah buku Mengobati Luka Batin yang dikemas dengan cerita. Ada juga yang mengalami kekerasan dan tekanan menyebabkan ia trauma bahkan berakhir pada bunuh diri [16]. Oleh karena itu penulis memberikan solusi cara meminimalisir trauma di era pandemi covid-19 dengan keyakinan akan sang pencipta. Keyakinan merupakan kepercayaan yang mampu menekan mundur alam bawah sadar negatif, hingga melahirkan prilaku- prilaku yang positif, dalam Alquran QS Al Anfal Ayat 7 di sebutkan “jika Allah tahu di hati mu ada kebaikan, niscaya Dia memberikan kebaikan kepada mu” [1] Keyakinan bisa merubah segalnya.
Maka di era pandemi covid-19 seyogyanya kita meyakini bahwa tidak akan ada yang bisa terjadi di muka bumi tanpa irodatillah atau kehendak Allah dan segala hal yang terjadi di muka bumi pasti ada hikmahnya, begitupun di era pandemi covid-19 disamping dampak buruk ada hikmah atau manfaatnya, salah satunya banyak waktu berkumpul dengan keluarga, memiliki waktu istrahat lebih banyak dan seyogyanya media masa juga memperhatikan manfaat dari adanya virus covid-19. Namun sangat di sayangkan sejak munculnya covid-19 media dan masa seolah menggiring opini akan ganasnya covid-19, penggunaan masker di perketat, selalu cuci tangan serta dilarang berinteraksi secara tatap muka dan bersentuhan yang menyebabkan sabagian masyarakat paranoid dan ketakutan.
Jika situasi seperti ini berlangsung terus menerus maka alam bawah sadar manusia akan menyimpan memori ketakutan, ketegangan dan rasa tidak aman dan jika rekaman alam bawah sadar itu berlangsung lama maka hal tersebut disadari atau pun tidak akan mengesampingkan keyakinan terhadap sangkuasa, dengan kata lain dimuka bumi ada kekuatan yang melebihi Allah dan bisa membunuh siapa saja. Disadari atau tidak hal tersebut sudah berlangsung sejak awal munculnya virus corona-19 di wuhan, dimana berjuta jiwa yang tewas setiap harinya, bukankah virus merupakan bagian dari mahluk di muka bumi ini, lantas mengapa keadaan saat ini sangat membuat halayak ramai paranoid?. Dalam hal ini bagi penulis protokol kesehatan merupakan tindakan preventif yang tepat, namun yang menjadi tidak tepat adalah saat situasi di era pandemi covid-19 menyebabkan paranoid, ketakutan yang mencekam yang mengakibatkan trauma.
Sementara trauma muncul dan berkembang karena tidak ada rasa menerima dalam diri, dan rasa menerima akan hadir jika meyakini adanya Allah, meyakini segala sesuatu dari Allah. Meyakini bahwa Allah satu- satunya sang pencipta segala hal dimuka bumi ini. Meyakini bahwa manusia harus selalu berprasangka baik.
Positif Thingking
Dr. Iasah Dahlan CHt dalam chanel youtube menyebutkan bahwa positif thingking adalah berfikir atau mengingat hal yang menimbulkan semangat dan kebahagiaan [23]. Positif thingking adalah pondasi dalam menjalani hidup. Dalam sejarah kemerdekaan indonesia tahun 1945 indonesia merdeka karena sumbangsih para ulama dan pemuda, yang mana dalam sejarah, indonesia merdeka dengan satu senjata yakni bambu runcing. Secara kasat mata bambu runcing tidak bisa menandingi senjata penjajah kala itu. Dari kisah perjuangan adahal yang menarik yang penulis temukan yakni “Law Off Effect” atau hukum pengaruh yang di kembangkang oleh Adward Thorndike pada tahun1898. Dari kisah- kisah dan film- film tentang perjuangan kemerdekaan indonesia 1945, penulis menganalisa bahwa para pejuang setiap saat selalu menghadirkan nuansa kemerdekaan di benak para pejuang bahkan dari dahsatnya positif thingking yang mereka miliki menghilangkan ketakutan akan penyiksan dan kematian.
Penulis menyimpulkan dalam perjuangan bukan persoalan senjata, melainkan tentang bagaimana menghadirkan kemenangan menjadi nyata, dengan kata lain positif thingking. Sejarah mengajarkan bahwa para pejuang harus positif thingking, di era pandemi covid-19 hakikatnya masyarakat indonesia di ajak untuk kembali lagi pada sejarah, untuk kembali lagi berjuang, untuk kembali lagi bangkit melawan virus ini, sebab diri anda adalah apa yang anda pikirkan.
Pemerintah sudah melakukan berbagai langkah preventif seperti menciptakan peraturan protokol kesehatan, dan baru- baru ini pemerintah mengimpor vaksin dari china, namun segala langkah preventif tidak akan berpengaruh jika masyarakat tidak memiliki positif thingking [24]. Kuantitas dan kualitas pertumbuhan dan perkembangan pola pikir dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan yang selalu berubah, baik hal tersebut direncanakan atau pun disebabkan oleh sesuatu yang tidak dikehendaki atau direncanakan [18].
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Aisah Dahlan, CHt tentang pengaruh ucapan baik dan buruk terhadap nasi yang disimpan selama tujuh (7) hari hasilnya adalah keadaan nasi yang di beri ucapan baik lebih baik teksturnya dari pada nasi yang di beri ucapan buruk [23]. Dari penelitian ini jelas adanya the Law Off Effect maka reward dari ucapan baik adalah nasi menjadi lebih baik teksturnya dari pada ucapan buruk. Rahasianya adalah, ucapan yang sering dilontarkan, atau ucapan yang sering muncul dipikiran akan tersimpan di alam bawah sadar, saat rasa (keyakinan) yang dihadirkan maka akan terciptalah situasi tersebut. Oleh karena itu dimasa pandemi covid-19 hendaknya senatiasa berpikir positif dengan katalain berusaha menghadirkan rasa bahagia dan menyusun kembali impian- impian yang tertunda [25], hal tersebut mampu mengalihkan pikiran dari isu- isu pandemi covid-19, berikut langkah- langkah membangun positif thingking:
Menyibukkan diri dengan membaca/ Melakukan Hoby
Melakukan yoga setiap hari
Membiasakan berucap (ya Allah hari ini dan seterusnya, izinkan perasaan, hati, pikiran dan jiwa hamba berprasangka baik pada mu) diulangi 3x setiah hari.
Menerima & Happiness
Dalam dinamika kehidupan, bahagia, senang, susah, jaya, sukses dan gagal, kecewa dengan keaadaan yang tidak sesuai dengan harapan, marah dengan rencana yang gagal begitu saja, akan senantiasa melengkapi setiap kisah hidup manusia. Dalam merespon dinamika kehidupan setiap orang berbeda- beda, ada yang memilih berontak dan marah, ada juga yang menyadari dan menerima, tentu dampak dari dua karakteristik individu tersebut berbeda, namun individu yang condong pada penerimaan akan senantiasa tenang dan mudah memecahkan problem yang dihadapi [26]. Di era pandemi covid-19, semestinya setiap individu menyadari dan menerima situasi yang penuh dengan aturan dan ancaman.
Belajar pada sejarah Nabi Ayub As dimana ia menderita penyakit kulit selama delapan belas (18) tahun, selama itu pula tidak ada satupun orang yang mau berdekatan dengan dirinya kecuali sang istri, hingga ia di asingkan bersama istrinya dan tinggal di tempat pembuangan sampah. Selama delapan belas (18) tahun nabi Ayub as tidak pernah lelah berdoa sampai tiba ketika Allah hilangkan penyakitnya, berikut bunyi doa nabi Ayub yang di abadikan di dalam Al- Quran “ ya Tuhan ku sungguh aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang maha penyayang di anatar semua penyayang”.
Walaupun keadaan nabi Ayub menderita selama delapan belas (18) tahun ia tetap memuji Allah dan bersyukur karena masih ada istri yang setia menemani. Jika nabi Ayub delapan belas (18) tahun menderita penyakit kulit ia bersabar dan menerima mengapa manusia saat ini yang baru satu tahun berhadapan dengan virus corona-19 sulit untuk menerima keadaan bahkan merasa ketakutan dengan situasi seperti saat ini. Menerima sesuatu yang tidak diingin kan seperti wabah virus corona-19 bukanlah hal yang mudah namun bukan hal yang sulit. Dalam ajaran agama islam kita mengenal istilah syukur. Syukur artinya menerima segalanya dengan lapang [26] di dalam Al- Quran QS Ibrahim ayat 7 di sebutkan “ sesungguhnya apa bila kalian bersyukur maka Aku akan menambahnya kepada mu, namun apabila kalian kufur maka ingat adzab Ku sangat pedih,”[1].
Menerima segala hal yang terjadi dengan lapang adalah kewajiban bagi setiap individu, dengan menerima segala hal, akan menghasilkan kebahagiaan (happiness).
Happiness atau kebahagiaan, adalah rasa senang, rasa puas yang melahirkan perilaku- perilaku yang menyenangkan seperti tersenyum, tertawa dll. Happiness adalah sebuah pilihan, tidak ada yang bisa mempengaruhi pribadi individu kecuali atas dasar kemauan individu itu sendiri[4]. Dalam teori humanistik yang di kemukakan Carl Rogers ia berpendapat manusia adalah dirinya yang baik manusia memiliki orientasi yang psoitif [27].
Happiness tidak datang begitu saja melainkan perlu di latih dan dibiasakan, happiness akan menekan mundur trauma yang ada dalam diri, dan happines adalah pilihan. Di era pandemi covid-19 keadaan yang mencekam, tidak bisa kemana- kemana dan hanya berdiam diri dirumah, tentu akan membosankan, namun bukankah hal tersebut adalah hal yang selama ini di impikan, libur kerja, bersama keluarga, bukankah hal tersebut merupakan impian selama ini dan bahkan kita berpikir bahwa hal tersebut sangat membahagiakan? Lalu mengapa setelah libur panjang, tidak bekerja dan berdiam dirumah, rasa bosan muncul dan bahkan sebagian membrontak dengan situasi in, inilah bukti bahwa bahagia adalah pilihan bahagia bukan terlahir dari objek, bahagia terlahir dari subject, dan diri masing- masing adalah subject itu sendiri. Alquran menyebutkan QS Ar-ra’d ayat 28 “ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang”[1].
Menerima harus di biasakan hingga melahirkan kebahagiaan, segala hal yang di ulang- ulang akan menjadi kebiasaan[4]. Kebahagiaan merupakan reward dari menerima. Oleh karena itu penulis menyimpulkan pandemi covid-19 bukan faktor utama yang menyebabkan masyarakat mengalami kegelisahan, ketakutan yang melahirkan trauma, namun trauma tersebut lahir dan meningkat salah satunya di sebabkan oleh rasa tidak menerima dalam diri.
Pandemi covid-19 yang berlangsung sampai detik ini, masih menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan berdampak pula pada sektor- sektor pendidikan, bisnis, dan sosial. Yang memprihatinkan saat ini adalah ketakutan dan kecemasan yang merambat dikalangan masyarakat, adanya isu- isu yang menggiring opini akan ganasnya covid-19. Apabila situasi seperti ini berlangsung terus menerus maka ketakutan dan kecemasan akan menyebabkan trauma, sementara trauma itu sendiri akan berdampak terhadap personaliti dan lingkungannya. Sebab itu para praktisi psikologi meningkatkan penelitian tentang cara mengatasi trauma, cara menyembuhkan trauma salah satunya dengan tehnik kursi kosong, role play dan sebagainya namun penulis memiliki pendapat yang berbeda dalam meminimalisir trauma di era pandemi covid-19 yakni dengan pertama, mengingat adanya sang pencipta. Kedua, positif thingking. Ketiga menerima & happiness.
Dalam penulisan ini jauh dari kata sempurna¸ namun penulis berharap ada secuil manfaat dari tulisan ini yang dapat menginspirasi dan menambah wawasan pembaca.
Rujukan
[1] Al-Quran, “Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya.” Jabal, jakarta, p. 2, 2010.
[2] maria S. p. kam Felicia, “Penyembuhan Luka Batin.” 2010, [Online]. Available: www.carmelia.net/.../penyemuhan-luka-batin.
[3] N. Greenberg, “Mental health of health-care workers in the COVID-19 era,” Nat. Rev. Nephrol., vol. 16, no. 8, pp. 425–426, 2020, doi: 10.1038/s41581-020-0314-5.
[4] B. Wallgito, Pengantar Psikologi Umum, 5th ed. Yogyakarta: C.V Andi OFFSET, 2010.
[5] Z. Zaharah and G. I. Kirilova, “Impact of Corona Virus Outbreak Towards Teaching and Learning Activities in Indonesia,” SALAM J. Sos. dan Budaya Syar-i, vol. 7, no. 3, 2020, doi: 10.15408/sjsbs.v7i3.15104.
[6] D. Wang et al., “Clinical Characteristics of 138 Hospitalized Patients with 2019 Novel Coronavirus-Infected Pneumonia in Wuhan, China,” JAMA - J. Am. Med. Assoc., vol. 323, no. 11, pp. 1061–1069, 2020, doi: 10.1001/jama.2020.1585.
[7] H. Ariyanti, Asal muasal munculnya covid-19. 2020, p. 6.
[8] wikipedia & J. C. COVID-19, “No Title.” 2021, [Online]. Available: https://news.google.com/covid19/map?hl=id&mid=m/01vfw&gl=ID&ceid=ID:id.
[9] N. Hope et al., “Outcomes of orthopaedic trauma patients undergoing surgery during the peak period of COVID-19 infection at a UK major trauma centre,” Surg., Dec. 2020, doi: 10.1016/j.surge.2020.11.009.
[10] WHO, “No Title.” [Online]. Available: https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/question-and-answers-hub/q-a-detail/coronavirus-disease-covid-19#:~:text=symptoms.
[11] L. Rampal and L. B. Seng, “Medical Journal of Malaysia,” Coronavirus Dis. pandemic, vol. 75, no.2, 2020.
[12] A. Welander-Vatn et al., “Relationships among avoidant personality disorder, social anxiety disorder, and normative personality traits: A twin study,” J. Pers. Disord., vol. 33, no. 3, pp. 289–309, 2019, doi: 10.1521/pedi_2018_32_341.
[13] D. CorbuzIEr, PODCAST TANPA BRA, DINAR CANDY- DEDDY CORBUZIER. Deddy Corbuzier, 2020.
[14] F. C. Tamburrelli et al., “Spinal surgery in COVID-19 pandemic era: One trauma hub center experience in central-southern Italy,” J. Orthop., vol. 22, no. June, pp. 291–293, 2020, doi: 10.1016/j.jor.2020.06.014.
[15] M. C. Bilal, “Psychology, History and Culture,” 2016, [Online]. Available: http://mazreynaldy.blogspot.com/2016/04/teori-psikoanalisis-sigmund-freud.html.
[16] B. K. E. Kim, A. B. Gilman, N. Thompson, and J. De Leon, “Statewide Trends of Trauma History, Suicidality, and Mental Health Among Youth Entering the Juvenile Justice System,” J. Adolesc. Heal., 2020, doi: 10.1016/j.jadohealth.2020.05.044.
[17] H. Deasy, K. Astuti, and K. Budiyani, “Pelatihan Berfikir Positif untuk Meningkatkan Self-Esteem pada Remaja Yatim Piatu di Yogyakarta,” J. Psikol., vol. 16, no. 2, pp. 1–7, 2020.
[18] and J. F. s. Greff, D. V. Holt, “J. Probl. Solving,” Perspect. Probl. solving Educ. Assess. Anal. interactive, Collab. Probl. solving, vol. 5, no 2, 2013.
[19] M. Jankovic, J. J. Sijtsema, A. K. Reitz, E. D. Masthoff, and S. Bogaerts, “Workplace violence, post-traumatic stress disorder symptoms, and personality,” Pers. Individ. Dif., vol. 168, Jan. 2021, doi: 10.1016/j.paid.2020.110410.
[20] M. Biddlestone, R. Green, and K. M. Douglas, “Cultural orientation, power, belief in conspiracy theories, and intentions to reduce the spread of COVID-19,” Br. J. Soc. Psychol., vol. 59, no. 3, pp. 663–673, 2020, doi: 10.1111/bjso.12397.
[21] R. Clarinda, Mama Jangan Pukul Aku, 1st ed. jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.
[22] J. Pearce, C. Murray, and W. Larkin, “Childhood adversity and trauma: experiences of professionals trained to routinely enquire about childhood adversity,” Heliyon, vol. 5, no. 7, Jul. 2019, doi: 10.1016/j.heliyon.2019.e01900.
[23] Dr.Aisah Dahlan CHt, Positif Thingking. Rumil Al-Hilya, 2020.
[24] G. Oettingen and T. A. Wadden, “Expectation, Fantasy, and Weight Loss: Is the Impact of Positive Thinking Always Positive? 1,” 1991.
[25] D. Collinson, “Prozac leadership and the limits of positive thinking,” Leadership, vol. 8, no. 2, pp. 87–107, May 2012, doi: 10.1177/1742715011434738.
[26] Sayyid Mahdi as Sadr, Saling memberi dan Saling Menerima, 1st ed. jakarta: pustaka zahra, 2003.
[27] M. P. Febriani, Deni S.Ag., Bimbingan Ksonseling, 1st ed. Yogyakarta: Teras, 2011.
Oleh : Miftahatur Rizqiyah, S.Pd, M.Si (Dosen STAIFA PAMEKASAN)
Nur Kamalia (Mahasiswa STAIFA Pamekasan)
Editor :mawardi@2021