Moderasi Beragama sebagai Jalan “Perlawanan” atas Gerakan Politisasi Agama

Foto : Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd (Dosen Agama Islam Universitas Dinamika Surabaya)
SURABAYA - JATIMNEWS - Indonesia menjadi negara yang dihuni dengan ragam budaya, agama, suku dan ras yang menjadikannya negara majemuk dan heterogen. Keberagaman Indonesia diikat dengan tali Pancasila untuk menyatukan segala perbedaan yang ada. Perbedaan diilhami sebagai keniscayaan yang tidak bisa dibantah maupun ditolak apalagi dirubah. Keberagaman satu sisi akan menjadikan warna warni kehidupan masyarakat sehingga saling menghargai, sisi lain akan menjadi problem besar jika tidak disadari secara personal maupun kelompok serta jika di”susupi” gerakan ekstremis yang penuh propaganda. Seringkali agama dijadikan sebagai “alat” untuk menjadikan seseorang itu fanatik, merasa paling mulia, suci dan lain sebagainya. Sehingga, muncul “diksi” bahwa yang tidak seagama dengannya ialah musuh dan tidak perlu berlaku baik kepadanya.
Sikap dan perbuatan demikian akan mendorong umat bergama menjadi umat yang inklusif, intoleran dan fanatik. Problem ini akan menjadikan disharmonisasi antar kehidupan beragama. Belum lagi persoalan politik, agama menjadi “bidadari” sekaligus “hakim”. Bidadari artinya agama dijadikan rujukan bahwa yang beragama A, wajib dipilih dan pantas mengurus Bangsa ini, sehingga muncul gesekan sosial bagi calon pemimpin yang tidak beragama A tersebut dengan para pendukungnya. Sedangkan hakim artinya agama dijadikan keputusan dalam berpolitikan masyarakat, bahwa masyarakat yang tidak memilih yang seiman akan dikatakan kafir bahkan pernah tidak wajib diurus jenazahnya saat ia meninggal (lihat https://www.liputan6.com/news/read/2882270/).
Peristiwa dan kasus di atas jelas bahwa agama dijadikan sebagai “alat politik” dan “identitas”, hal ini hemat penulis sangat “hina” dan “nista” sekali kita yang menjadikan agama yang suci, sakral dan penuh dengan norma dijadikan seperti itu. Agama yang untuk dijalankan dengan ikhlas, jalan memperbaiki diri, dan petunjuk kehidupan digandakan untuk kepentingan duniawi yang nista. Sungguh “durhaka” sekali umat beragama yang menjadikan agamanya sebagai alat kepentingan hawa nafsu dan “topeng” untuk menjual agama dengan redaksi “kalimat-kalimat Tuhan” (baca: kalimat tauhid dan thaiyyibah).
Politisasi agama khususnya menjelang Pemilihan Presiden maupun Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati atau Wali Kota) akan marak terjadi, khususnya lima tahun ke belakang. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi di Pemilu 2024. Untuk itu, gerakan politisasi agama wajib dihentikan, salah satu solusi yang efektif dijadikan penghadang ialah dibumikannya paradigma “moderasi beragama”.
Indonesia sebagai bangsa besar dengan penduduk yang beragama beragam, sepatutnya “mengkampayekan” untuk menjadi umat beragama yang moderat. Moderat artinya tidak berlebihan (fanatik), menerima perbedaan meskipun itu agama lain (toleran), bijak, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan persatuan yang didesain sebaik mungkin untuk kehidupan yang harmonis, humanis dan etis. Moderasi beragama merubah paradigma yang “kaku” kepada paradigma yang “lembut”, dalam bahasa Islamnya “rahmah”. Umat beragama di Indonesia (apapun agamanya) “wajib” menjadi “rahmah” terhadap sesamanya, minimal sekitarnya. Rahmah dipahami secara “gamblang” sebagai manusia yang menyenangkan dan selalu menebarkan kedamaian kepada siapapun.
Artinya, Islam identitas maupun politisasi agama adalah “penyakit” mental yang harus disembuhkan dengan merubah paradigma umat beragama menjadi moderat, sehingga tidak mudah terjebak ke dalam manipulasi gerakan yang mengatasnamakan agama. Agama harus diamalkan dan dipraktikkan ke dalam kehidupan sosial yang menjunjung tinggi kebersamaan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan. Umat beragama yang moderat akan menjauhi konflik sosial dan juga menjaga kesucian agamanya dari berbagai kepentingan duniawi yang “licik”, mereka akan menjadi garda terdepan dalam merawat kebhinekaan Indonesia yang berusaha memecah belah nilai luhur dari makna persatuan yang akan berdampak luas terhadap keberlangsungan kehidupan manusia berikutnya.
Indonesia menjadi negara majemuk yang berasaskan Pancasila harus didukung dan dikuatkan oleh paradigma yang sehat. Paradigma yang sehat dimaksud ialah cara berpikir yang terbuka, bijak dan menghargai apa yang sudah menjadi ketetapan Tuhan Semesta Alam termasuk adannya perbedaan keyakinan. Moderasi beragama menekankan akan hal tersebut, bukan bermaksud mencampuradukkan keyakinan agama A dan B, namun mendudukkan semua agama menjadi satu ruang untuk saling berdiskusi, “ngobrol”, kerjasama, dan saling melihat dengan mata yang penuh kasing sayang dengan tetap berpegang pada akidah masing-masing. Moderasi beragama mengedukasi masyarakat untuk lebih bertenggang rasa sehingga akan mampu mewujudkan interaksi sosial yang humanis.
Untuk itu, moderasi beragama menjadi jalan “perlawanan” atas gerakan politisasi agama yang tidak bisa dibenarkan. Jalan untuk mengembalikan umat beragama kepada petuah ajaran yang lurus, moderat, dan kasih sayang atas semua ciptaan Tuhan. Kehidupan yang harmonis lebih penting untuk dijaga dan dirawat demi sebuah kemaslatan umum sebagaimana perintah semua agama. Perintah yang mulia itu harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggungjawab sebagai bentuk ketundukan dengan Tuhan yang Maha Kuasa.
Penulis: Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd
(Dosen Agama Islam Universitas Dinamika Surabaya)
Editor :mawardi@2021